TPL Beberkan Sejumlah Fakta Kerusuhan Sihaporas : "Kami Penyewa Lahan" -- MEDAN (bareskrim.com) | PT. Toba Pulp Lestari, Tbk (TPL).membuka komunikasi sekaligus klarifikasi mengenai salah paham dan perselisihan yang terjadi di Kabupaten Simalungun pada 22 September 2025.
Perselisihan antara pekerja TPL dengan kelompok masyarakat yang menamakan diri Kelompok Masyarakat Adat Lamtoras, ternyata terjadi di kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI) TPL Aek Nauli perusahaan, berdekatan dengan Desa Sipolha.
Hal itu diungkapkan oleh Manager Corporate Communication TPL, Salomo Sitohang, ketika menunjukkan sejumlah bukti dan fakta berhasil dihimpun dari peta lokasi atau konsesi lahan hingga izin penggunaan lahan dari yang dikeluarkan oleh pemerintah.
“Perselisihan terjadi di wilayah konsesi kami yang letaknya berdekatan dengan Desa Sipolha, bukan Desa Sihaporas. Faktanya, Desa Sipolha dan Desa Sihaporas itu berada di wilayah berbeda,” ungkap Salomo, Selasa (7/10/2025).
Berdasarkan peta konsesi yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2023, lokasi bentrok tersebut justru berjarak sekitar 5,4 Km dari Desa Sihaporas, desa dimana kelompok Lamtoras bermukim.
Salomo menjelaskan, pada saat kejadian pihak perusahaan akan melakukan pemanenan kayu Eucaliptus yang menjadi bahan baku pulp di wilayah konsesi perusahaan, yang ditandai dengan kode B483.
Namun kedatangan para pekerja dengan sejumlah alat berat perusahaan, membuat kelompok Lamtoras merasa terganggu dan berujung pada perselisihan.
“Kami dituding menyerang kelompok Lamtoras. Lo, kami ini didatangi di wilayah konsesi kami dan di lokasi itu berdekatan dengan Kantor R&D Sektor Aek Nauli. Mana mungkin kami membangun kantor di wilayah yang bukan konsesi kami, artinya kami yang didatangi pihak Lamtoras di rumah kami sendiri (wilayah HTI),” ujar Salomo.
Menurutnya, hubungan TPL dengan masyarakat di Desa Sihaporas di 3 dusun sangat baik dan telah bermitra dengan mereka. Sedangkan, 2 dusun lainnya yakni Dusun Aek Batu yang berjumlah sekitar 52 KK dan Dusun Lumban Ambarita yang berjumlah sekitar 31 KK belum bersedia untuk bermitra.
“Kelompok yang mengatasnamakan Masyarakat Adat Lamtoras inilah berasal dari dua dusun ini. Mereka mengklaim tanah adat hingga ke wilayah konsesi yang bahkan sudah masuk secara administrasi ke wilayah desa lain," ungkap Salomo.
Salomo mengungkapkan, pihak TPL tidak menginginkan terjadi perselisihan dengan masyarakat di seputar wilayah konsesi. Wilayah konsesi yang diperoleh dari pemerintah tercantum dalam SK Menteri Kehutanan No 493/Kpts-II/1992 Jo SK 1487/Menlhk/Setjen/HPL.0/12/2021.
“TPL itu mengusahai (menyewa) lahan yang diberikan oleh pemerintah untuk dijadikan lahan konsesi kami. Untuk urusan klaim tanah apapun bentuknya ya jangan ke TPL la, kami aja menyewa. Harusnya yang didatangi itu pemerintah sebagai pemilik konsesi (tanah)," ucapnya.
"Namun ternyata, Lamtoras datang mengklaim lahan adat dan melarang kami menanaminya dengan tanaman industri, itu namanya salah tempat. Karena tanah itu milik negara yang diizinkan untuk kami kelola,” pungkasnya.
Seperti yang diketahui salah paham antara Kelompok Masyarakat Lamtoras dari Desa Sihaporas menjadi pembicaraan utama pada akhir September 2025 lalu.
Hal ini juga memicu reaksi sejumlah cendikiawan dan tokoh adat Simalungun yang menyebut bahwa tidak ada istilah tanah adat di kabupaten yang berfalsafah “Habonaron do Bona” tersebut.
Persoalan ini sebelumnya juga sudah sampai hingga ke Jakarta, dimana masyarakat mengadukan TPL ke Komnas HAM. Akan tetapi, Komnas HAM dalam suratnya tertanggal 19 Maret 2025 menyimpulkan bahwa permasalahan yang diadukan oleh masyarakat tersebut merupakan sengketa lahan.
Komnas HAM menyampaikan hal tersebut karena sejauh ini belum ada pengakuan MHA dan penetapan hutan adat dari Pemerintah yang diberikan kepada pengadu.
Komnas HAM juga berkesimpulan, sepanjang belum ada pengakuan MHA dan penetapan hukum adat, bagi pengadu dan pihak teradu memiliki hak untuk memanfaatkan, mengelola dan mengamankan areal konsesi HTI sebagaimana izin IUPHHK-HTI yang diberikan pemerintah.
Terakhir kata Salomo, pihaknya sangat terbuka terhadap lapisan masyarakat mana pun untuk duduk bersama dalam membicarakan persoalan yang muncul. Akan tetapi, ia berharap pembicaraan tersebut hanya melibatkan mereka dan pihak masyarakat. (ani/B)
